Jawabnya tentu bukan sekedar ada atau tidak. Dan masalah, bahkan istilah ini -berkaitan dengan Islam- tidak pernah dipertanyakan sebelumnya, kecuali karena dua sebab: Pertama, kenyataan yang terjadi di mana sebagian kaum muslimin sendiri cenderung berpandangan atau bersikap sehingga menjadi sebab tumbuh dan berkembangnya dikotomisme yang keliru. Kedua, Kecemburuan sebagian kaum muslimin atas ketertinggalan mereka oleh “barat” (baca: peradaban dunia non-muslim) di dalam urusan kesejahteraan material.
Pertanyaan ini menjadi penting, karena terlanjur muncul berbagai jawaban, mulai dari yang filosofis sampai kepada yang sifatnya praktis. Sebagai contoh (-di Indonesia-), adanya perlakuan diskriminatif antara SD, SLTP, SMU yang berinduk ke Depdiknas dengan Madrasah Ibtida’iyah, Tsanawiyah, dan Aliyah yang berinduk ke Depag. Kekhawatiran orang tua; kalau memasukkan anak ke Madrasah / Pesantren nanti susah mencari kerja, dan kalau memasukkan anak ke SD dan seterusnya nanti buta agama. Kesemua ini sesungguhnya bermuara kepada persoalan dikotomi ilmu.
Sementara itu tidak sedikit orang -yang karena kecemburuan ini-, langsung bersemangat menyanggah, antara lain dengan alasan: Banyaknya ulama Islam yang punya otoritas keilmuan lebih dari satu bidang adalah bukti kuat bahwa Islam tidak mengenal konsep dikotomi ilmu. Tentu saja logika semacam ini sangat naïf. Apakah jika seseorang memiliki profesi sebagai polisi sekaligus pada saat yang bersamaan juga seorang pencuri, kemudian akan kita katakan bahwa tidak ada dikotomi antara polisi dengan bandit ?
Paradigma Apa yang Kita Pakai ?
Membicarakan ilmu sebagai sesuatu yang dipahami (-sehingga melahirkan penggolong-golongan / pengelompokan / pengkategorian berdasarkan sifat/karakternya-) tentu berbeda dengan membicarakannya sebagai sesuatu yang diterapkan. Kita bisa membicarakan Leonardo da Vinci, misalnya sebagai seorang pelukis dan pematung sekaligus seorang insinyur, tidak berarti kedua ilmu yang digelutinya itu tidak berbeda, bukan? Juga karena ini masalah nilai, maka tentu jawabnya tergantung siapa yang melihat, atau tepatnya paradigma apa yang dipergunakan untuk melihat masalah tersebut. Dan yang terakhir ini sangat penting dan menentukan.
Sejarah peradaban “barat” (Kristen) sejak zaman Romawi memberikan pengaruh besar terhadap pendikotomian ilmu maupun arti dikotomi itu sendiri. “Gereja untuk tuhan dan istana untuk raja“, atau ucapan Einstein: “Agama/iman tanpa ilmu, lumpuh. Ilmu tanpa agama/iman buta.”merupakan contoh paling mendasar dan nyata dari praktek dikotomi. Lebih dari itu, sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di sana juga ikut membawa pengaruh. Pergulatan mereka di bidang filsafat ilmu pengetahuan -sejak Francis Bacon (1561 – 1626) sampai TS Kuhn (1922 – 1996.)- tidak pernah membebaskan mereka dari belenggu dikotomi yang telah berurat-berakar di tubuh peradaban (-kristen barat-) mereka.semenjak agama ini berkembang di sana. Sederet nama mulai dari Descartes, Newton, Voltaire, dan Hume merupakan pribadi-pribadi yang paling bertanggung jawab atas tetap terkurungnya Yesus hanya di gereja-gereja, hingga hari ini.
Kemudian ketika kaum muslimin dibesarkan di bawah asuhan nilai dan metode pendidikan “barat”, merekapun memahami dan mendudukkan perkara dikotomi sebagaimana kata/istilah itu dikenal dan dipergunakan di “barat”. Para pengekor maupun penentangnya sama-sama dibesarkan dengan cara pemahaman itu. Mereka melihat agamanya (Islam) dengan kacamata para pewaris peradaban Yunani – Romawi melihat agama Kristen. Jadi sekalipun ada sebagian yang tampak menentang, toh bantahannya sangat artifisial (semu). Kalimat-kalimat seperti: “Agama dan ilmu tak perlu dipertentangkan, keduanya bisa hidup berdampingan dan saling menunjang.” atau : ” Agar tidak menjadi generasi yang sekuler, di samping diajarkan ilmu-ilmu umum anak-anak juga harus diajarkan ilmu agama.” menunjukkan bahwa justru sekulerisme itu telah tumbuh di dalam benak tanpa mereka sadari. Telaah dan renungkan dalam-dalam kalimat-kalimat di atas, tentu akan kita dapati ruh dikotomisme-sekulerisme di dalamnya!
Sesungguhnya akar permasalahan ini bisa ditarik mulai dari makna dan penjelasan firman-ALLAH: ” …غير المغضوب عليهم ولا الضالين…” (“…selain orang-orang yang dimurkai atas mereka dan orang-orang yang sesat.” – Al Fatihah: 7), karena dari sinilah segalanya bermula. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallammengatakan bahwa Al Maghdhub itu Yahudi dan Adh-Dhallin itu Nashara. (-HR:Muslim-). Dan Yahudi, sebagaimana juga Nashara, memiliki karakter yang khas. Yang pertama, berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya, mengedepankan aqal, dan cenderung kepada pendekatan filsafat. Yang ke-dua, beramal tetapi tidak dilandasi ilmu, mengedepankan perasaan. dan cenderung kepada gaya tasawuf. Maka mengertilah kita siapa yang ditiru -sadar atau tidak- oleh Mu’tazilah atau kaum Sufi, jika kita ingat akan peringatan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
عن أبي سعيد الخدري،عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:
(لتتبعن سَنَنَ من كان قبلكم، شبراً بشبر وذراعاً بذراع، حتى لو دخلوا جحر ضب تبعتموهم).
قلنا: يا رسول الله، اليهود والنصارى؟ قال: (فمن).
(Dari Abu Sa’id Al Khudry, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, berkata: “Sungguh kalian akan benar-benar mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian. Sampai-sampai jika mereka masuk ke lubang kadal tanah pun, kalian pasti mengikuti mereka.” Kami bertanya: ” Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksudkan itu (-kebiasaan-) Yahudi dan Nashara?” Ia Shallallahu alaihi wa sallam pun menjawab; “(-tentu saja-) Siapa lagi?” ) (HR: Al Bukhari – Muslim)
Oleh karena itu, ketika kita membicarakan perkara ini (dikotomi) di dalam kaitannya dengan Islam, tentu pertanyaan pertama adalah Islam yang bagaimana yang kita ambil sebagai ukuran. Tak bisa dipungkiri bahwa di sepanjang perjalanan sejarahnya umat Islam telah melalui berbagai zaman dengan berbagai macam pemikiran dan aliran (madzhab) di dalamnya. Era Mu’tazilah -yang rasionalis- kah yang akan kita jadikan representasi Islam, atau pandangan Sufi kah yang kita jadikan acuan? Banyak analisa dan pembahasan menjadi tidak mengena disebabkan tidak memperhatikan kenyataan sejarah ini atau melihat penggalan-penggalan sejarah tersebut secara parsial.
Dewasa ini tidak sedikit orang menulis, mulai dari yang bersifat apologetik, kritik, maupun bantahan, terhadap praktek-praktek sufi -yang menistakan dan menafikan dunia, menyepelekan peranan aqal dan mendahulukan perasaan, serta menganggap kefakiran lebih mulia dari pada kekayaan- , yang kesemuanya itu menandakan meratanya anggapan bahwa sufi -apakah itu yang dipahami dan dipraktekkan selama ini, maupun ajaran itu sendiri secara keseluruhan- lah biang keladi dari keterpurukannya umat Islam.
Ya, karena pandangan-pandangan sufistik-lah maka segala yang ajeg membuyar, segala yang fokus melebar, segala yang kaku melentur, bahkan lebih mementingkan esensi ketimbang aturan-aturan, -seperti pengakuan para pembelanya-. Dan -ironisnya- itulah pula yang menyebabkan ia terkontaminasi -atau tepatnya lebur- dengan logika, etika, dan estetika dari mana saja yang sama sufistiknya. Dengan Kristen, bahkan Hindu dan Budha. Maka pandangan-pandangan .(-yang seakan-akan dunia itu seluruhnya buruk, aqal seluruhnya salah, serta harta dan kekayaan seluruhnya hina-) itu pun semakin mengental.
Di sisi lain, di dalam rangka cemburu terhadap “barat”, kaum muslimin sering (-mengerti atau tidak-) mengungkit-ungkit era Mu’tazilah sebagai zaman “kemajuan”, Alam bawah sadar -hasil pembentukan berabad-abad selama masa penjajahan- nyalah yang mengantarkan kepada “merasa bertemu dan terpenuhinya” hasrat dan kecemburuannya tersebut lewat nostalgia masa-masa kejayaannya Mu’tazilah, tanpa -sengaja atau tidak- mempersoalkan aqidahnya. Di satu sisi mereka ingin tetap diakui sebagai seorang Sunni, bersamaan dengan itu mereka bela orang-orang yang berkeyakinan bahwaALLAH tidak mengetahui apa yang akan terjadi, bahwa Al Qur’an itu makhluq, bahwa ada manusia yang keberadaannya kelak tidak di sorga juga tidak di neraka (manzilatuhu bainal manzilatain), bahwa fitnah (pertanyaan) qubur itu tidak ada, dan masih banyak lagi bahwa-bahwa lain dari paham Mu’tazilah yang tidak mewakili pandangan seluruh kaum muslimin.
Rasionalis-empiris yang diimpor dari “barat” yang di tempat asalnya masih diperdebatkan kehalalan (baca: keshahihan) metodologinya keburu jadi konsumsi ilmiah kebanyakan ilmuwan di negeri-negeri muslim. Ini semua telah membentuk paradigma, bukan hanya ketika hendak melihat sesuatu, bahkan untuk menentukan apa yang harus atau perlu dilihat dan apa yang tidak boleh atau tidak perlu dilihat. Dan tentu saja pemilihan topik pembahasan kita kali ini juga tidak bebas dari pengaruh hal di atas.
Maka untuk memperjelas dan mempermudah pembahasan, secara jujur penulis harus katakan bahwa ia memilih paradigma Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, setidaknya menurut yang dipahaminya. Dan yang dimaksud Ahlus-Sunnah wal Jama’ah adalah mereka yang berpegang kepada Al Qur’an dan As-Sunnah sesuai menurut pemahaman generasi terdahulu (Salaful Ummah). Tepatnya, jauh sebelum lahirnya paham Asy”ariyah – Maturidiyah -sebagaimana kedua nama belakangan ini dianggap oleh sebagian kaum muslimin sebagai representasi Ahlus-Sunnah wal Jama’ah-. (?)
Pembagian Ilmu Di Dalam Islam
Kata Ilmu di dalam Islam tidaklah selalu sama pengertiannya dengan ilmu (Science /Knowledge) di “barat”, sehingga pengertian ilmiah (memenuhi standar ilmu) nya pun berbeda. Bagi “barat”, sesuatu yang tidak teruji secara empiris bukanlah ilmu. Maka megertilah kita kenapa lahir ucapan :Iman/agama tanpa ilmu, lumpuh. Dan Ilmu tanpa Iman/agama, buta. Karena iman berbeda dengan ilmu. Iman adalah sesuatu yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah (baca empiris), karena ia merupakan keyakinan.
Di dalam Islam Ilmu bisa mencakup seluruh pengetahuan, baik yang diupayakan maupun yang diwahyukan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Termasuk juga, apakah yang disebut di dalam IslamIlmu Dhorury (sesuatu yang dapat diketahui tanpa harus belajar, seperti tahunya kita bahwa air itu basah atau asap itu menyesakkan), atau Ilmu Nadhory (yang diketahui hanya dengan belajar, seperti air itu H2O atau asap itu CO2). Ilmu juga kerap diungkapkan dengan kata hikmah. Kata ilmuadakalanya juga dimaksudkan iman -seperti penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimiin -rahimahullah-.dan juga selain beliau tentang kata amanuu di dalam Surat Al Ashr, karena mustahil seorang beramal jika tidak dilandasi ilmu. Maka iman di sini adalah ilmu. Bahkan adakalanya ilmu diartikan sebagai agama, sebagaimana ucapan Muhammad ibn Siriinradhiallahu anhu:
إن هذا العلم دين. فانظروا عمن تأخذون دينكم (رواه مسلم)
(Sesungguhnya Ilmu itu adalah agama. Maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.)
Dan sesungguhnya para ulama (-Islam / Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah-) telah menjelaskan pembagian ilmu dari berbagai sudut. Adakalanya pembagian tersebut kemudian bersifat dikotomis, adakalanya sebagai pengkhususan satu disiplin ilmu atas yang lain. Maka mengingkari (-secara mutlak-) adanya dikotomi ilmu dalam Islam adalah keliru. Sementara mendikotomikan ilmu secara serampangan juga keliru.
Dari sisi sumber atau dasar pengambilannya ilmu -di dalam Islam- terbagi dua, Ilmu Syar’iy dan Ilmu Ghairu Syar’iy. Ilmu Syar’iy adalah ilmu yang bersumber dari Al Qur’an dan As-Sunnah serta berkaitan langsung dengan pengamalan syari’at Islam. Atau sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimiin -rahimahullah-. di dalam : كتاب العلم “Ilmu Syar’iy adalah ilmu yang berkaitan tentang apa-apa yang diturunkan ALLAH kepada Rasul-Nya berupa petunjuk dan penjelasannya.” Selainnya adalah Ilmu Ghairu Syar’iy, yaitu ilmu-ilmu peradaban dan yang berkaitan dengannya. Dan RasulullahShallallahu alaihi wa sallam suatu kali mengungkapkan dengan kata Ilmu Dunia, sebagaimana ucapannya : ” أنتم أعلم بأمر دنياكم “ (“Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.” – HR: Muslim). Juga di dalam do’anya: ” أللهم إني أسألك العفو و العافية في ديني و دنياي ” (“…Ya, ALLAH. Aku mohon kepada Mu kemaafan dan keselamatan di dalam urusan agamaku dan duniaku…”- HR: Abu Daud dan Ibnu Majah)
Tampak dari sisi ini kata agama dihadapkan (baca: dipertentangkan) dengan kata dunia. Jadi Ilmu Syar’iy itu ilmu agama, sedangkan Ilmu Ghairu Syar’iy itu ilmu dunia.
Dari sisi manfa’at atau tidaknya, ilmu juga terbagi menjadi: Ilmu Yang Bermanfa’at (-bagi dunia dan akhirat-) dan Ilmu Yang Tidak Bermanfa’at (-bagi dunia dan akhirat-). Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam do’anya berucap:
عن أبي هريرة؛ قال:- كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول :
((اللهم! انفعني بما علمتني، وعلمني ما ينفعني، وزدني علما)).
(Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam senantiasa berdo’a, ALLAHUMMA, Berikan manfa’at dari ilmu yang telah Engkau ajarkan kepadaku, ajarkan pula aku ilmu yang bermanfa’at bagiku. Dan tambahkan aku ilmu.”) (HR: At-Tirmidzi dan Ibnu Majah -dishahihkan oleh Syaikh Al Albaany)
Dari sisi hukum mempelajarinya, yakni tingkat kewajibannya atas setiap muslim untuk mengetahuinya, ilmu terbagi menjadi dua. Pertama, Ilmu Fardlu ‘Ain(wajib atas setiap pribadi). Ke-dua, Ilmu Fardlu Kifayah (tidak wajib atas setiap pribadi).
Ilmu Fardlu ‘Ain adalah ilmu tentang sesuatu yang setiap pribadi -tidak bisa diwakilkan- harus mengetahui dan memilikinya, seperti; Pengetahuan/pengenalan seseorang akan rabb (Pencipta)-nya -berkaitan tentang Kekuasaan, Hak Peribadatan, serta Nama dan Sifat-Nya-. Pengetahuan/pengenalan seseorang akan nabinya -berkaitan tentang nama dan nasab, perjalanan hidup, misi risalah, serta sunnah-sunnahnya yang wajib diamalkan-. Pengetahuan/pengenalan seseorang akan agamanya -berkaitan tentang bagian-bagian, rukun-rukun, hukum-hukum (-yang wajib secara pribadi diketahui, seperti perkara halal dan haram-),serta pembatal-pembatalnya.
Sedangkan Ilmu Fardlu Kifayah adalah ilmu-ilmu yang bekaitan dengan kemaslahatan diri dan orang lain, yang jika telah dipenuhi (ada sebagian orang yang telah mempelajari dan menguasainya) maka terbebaslah sebagian yang lain dari kewajiban akannya. Adakalanya Ilmu Fardlu Kifayah ini berbentuk Ilmu Syar’iy, seperti Ilmu Fara’id (ilmu waris) dan Ilmu Tajwid. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahumahullah- :”Mencari Ilmu Syar’iy hukumnya fardlu kifayah, kecuali dalam perkara-perkara tertentu seperti mencari ilmu tentang perkara-perkara yang diwajibkan atau diharamkan atas seseorang. Maka di dalam perkara-perkara semacam ini hukumnya menjadi fardlu ‘ain.” (Majmu’ ul Fatawa)
Adapun semua bentuk Ilmu Ghairu Syar’iy atau Ilmu Dunia hukum mempelajarinya adalah Fardlu Kifayah. Dan ini bukan berarti mengecilkan peranan ilmu-ilmu peradaban, tetapi justru menunjukkan bagaimana Islam dapat mendudukkan setiap perkara secara proporsional. Bukankah kita tidak menuntut seluruh manusia untuk menjadi dokter atau insinyur, misalnya. Dan apa jadinya kalau di suatu negeri -antara lain disebabkan karena tidak pernah diarahkan untuk mengetahui perkara-perkara semacam ini- semua belajar satu macam ilmu dan semua berharap untuk menjadi seorang ahli di bidang ilmu tersebut? Ya, seharusnya sejak awal negara sudah mengatur bidang-bidang apa saja di dalam Ilmu Ilmu Dunia / Ilmu Peradaban yang masih terbuka untuk dipelajari dan mengarahkan bangsanya untuk mengisi kekosongan. Dengan begitu tidak terjadi kelebihan tenaga professional di satu bidang sehingga menimbulkan pengangguran, atau kekosongan di profesi / keahlian yang lain -dokter wanita ahli kandungan, misalnya- yang menyebabkan seluruh negeri ikut berdosa karena meninggalkan fardlu kifayah tadi.
Kesimpulan
Bukannya ada atau tidak ada dikotomisme ilmu di dalam Islam, akan tetapi kenapa muncul pertanyaan ini, itu soalnya. Atau, tepatkah kalau pertanyaan semacam itu diarahkan ke Islam, mengingat konsep dikotomi itu datang dari pengalaman yang khas “barat”. Kalau kemudian dikotomisme ini hidup di dalam Islam, itu merupakan kebiasaan dari agama lain yang disusupkan ke dalam Islam oleh kaum sufi. Maka membantahnya dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai sample juga tidak tepat. Pertama, Mu’tazilah tidak sepenuhnya mewakili Islam. Kedua, “kemajuan” di bidang ilmu pengetahuan (baca: filsafat, sejarah, fisika, ilmu-ilmu hitung (matematika dan aritmatika), biologi, kedokteran, astronomi, dan geografi) tidak dengan sendirinya membuktikan tak adanya dikotomisme ilmu pada masa itu, atau bahwa Mu’tazilah tidak menganut adanya dikotomisme ilmu. Jika ukurannya adalah kemajuan di bidang sains dan material, maka “barat” dewasa ini harus juga kita katakan tidak menganut paham dikotomisme ilmu. donk ! Apa begitu ?
Mempertanyakan dikotomisme di dalam Islam hampir sama kasusnya dengan orang yang mengait-ngaitkan Islam dengan sosialisme. Berbagai tulisan dikarang dengan tema “Sosialisme di dalam Islam”. Mereka mencoba membedah Islam dengan pisau analisa sosiologi berparadigma sosialis. Mencari sisi-sisi kesamaaan antara Islam dengan Sosialisme, atau menafsirkan ajaran Islam dengan kacamata sosialis -sesuatu yang asing sama sekali bagi Islam dan Islam tidak ada hubungannya sama sekali dengannya- , sebagaimana ditempuh Ali Syari’ati di Iran di tahun 1970-an.
Maka kalau yang dimaksudkan dikotomi di sini adalah seperti dikotominya gereja-negara, pendeta-raja, atau agama-ilmu di dalam peradaban “barat kristen”, maka di dalam Islam hanya menyangkut Ilmu Nafi’ (Ilmu yang bermanfaat) dan Ilmu Ghairu Nafi’ (Ilmu yang tidak bermanfa’at). Adapun di dalam perbedaan sumber atau dasar pengambilannya -seperti Ilmu Syar’iy atau Ilmu Agama dan Ilmu Ghairu Syar’iy atau Ilmu Dunia- tidaklah otomatis dianggap dikotomis -sebagaimana pengertian asalnya- karena batas kedua jenis ilmu tadi (Syar’iyAgama dan Ghairu Syar’iy/Dunia) saling menerobos manakala memasuki dataran praktis atau hukum mempelajari dan mengamalkannya.
Tidak seluruh Ilmu Syar’iy itu fardhu ‘ain mempelajarinya, dan adakalanya Ilmu Ghairu Syar’iy menjadi sebab berdosanya seluruh kaum manakala tak seorangpun menguasainya sedangkan hal itu sangat dibutuhkan masyarakat. Begitu pula, ada di antara Ilmu Syar’iy yang fardhu ‘ain mempelajarinya tetapi fardhu kifayah mengamalkannya, seperti sholat jenazah. Sebaliknya ada yang fardhu kifayah mempelajrinya tetapi fardhu ‘ain mengamalkannya, seperti ilmu tajwid.
Yang perlu diperhatikan adalah penggunaan nama-nama bagi kedua jenis ilmu tadi. Seharusnya kita tidak memperkenalkan dan menggunakan -seperti kebanyakan orang- kata “umum” untuk Ilmu-ilmu Ghairu Syar’iy atau Ilmu Dunia. Pertama, karena yang dipergunakan sejak dahulu oleh para ulama kita hanyalah istilah Ilmu Ghairu Syar’iy atau Ilmu Dunia -untuk seluruh yang tidak bersumber dari Al Qur’an dan As-Sunnah atau yang hanya berkaitan dengan peradaban. Ke-dua, seandainya pun yang dimaksud adalah Ilmu Dunia dan istilah itu diucapkan oleh orang yang telah paham betul akan agama Islam, namun tentu kebanyakan orang awam -yang pola pikirnya telah terlanjur sekuler- akan menangkap konsep “umum” tadi dengan kacamata sekulernya pula, dan bahkan bisa membuat sekulernya semakin menjadi-jadi tanpa disadari. Begitu pula akibatnya, jika kita mempergunakan istilah “Ilmu Akhirat” -untuk Ilmu-Ilmu Syar’iy atau Agama- untuk dihadapkan dengan Ilmu Dunia..
Jelas sulit kita membantah adanya dikotomisme ilmu di dalam Islam sebagaimana juga sulitnya kita untuk keluar dari belenggu dikotomisme kalau kitanya sendiri menggunakan kata “umum” untuk Ilmu Dunia atau “akhirat” untuk Ilmu Agama. Dan pendikotomian Ilmu Agama – Ilmu Umum atau Ilmu Dunia – Ilmu Akhirat sungguh telah membawa dampak-dampak filosofis, psikologis, dan sosiologis. bagi ummat Islam.
Dampak filosofisnya, telah membuat kebanyakan orang melihat agama Islam melulu atau hanya urusan akhlaq baik-buruk, itupun sifatnya sangat umum (-tidak khas menurut ukuran Al Qur’an dan As-Sunnah-) sekali. Keadaan demikian membuat kebanyakan orang tidak memiliki perhatian sama sekali atau memang sama sekali tidak mengerti akan perkara aqiedah. Tak penting bagi mereka syirik atau bid’ah, asalkan tidak minum khamer, mencuri, berzina, membunuh, dan semisalnya dari macam-macam pelanggaran -yang sesungguhnya selain muslim pun tahu akan buruknya perkara tersebut-.
Dampak psikologisnya, kebanyakan orang baru mau mempelajari agama kalau sudah tua atau pensiun kerja, karena ilmu agama adalah ilmu akhirat. Agama adalah kesibukan orang-orang yang sudah lanjut usia. Masyarakat merasa heran kalau melihat anak yang masih muda tetapi sudah besar perhatiannya kepada agama.
Dampak sosiologisnya, misalnya lahir istilah atau ungkapan “puisi religius“, “seorang yang religius“, seakan-akan dekatnya seorang hamba kepada ALLAH atau ibadah itu perkara yang tidak lazim. Di sekolah-sekolah “umum”, pelajaran “agama” diberikan hanya dua jam sepekan, itupun meliputi pelajaran aqidah, ibadah, dan akhlaq, termasuk tafsir Al Qur’an dan pelajaran Al Hadits dijadikan satu. Sementara pelajaran ekonomi, misalnya, diberikan waktu seluas-luasnya dengan bagian-bagiannya, seperti makro, mikro, dan sebagainya. Ilmu-ilmu ghoiru syar’iy mendapatkan kedudukan yang terhormat dan dipentingkan di dalam masyarakat, sementara ilmu-ilmu syar’iy disepelekan. Kalau ada sebuah pesantren menggunakan komputer saja sudah merupakan berita yang perlu diekspos. Gambar seorang pelajar berpeci dan berjilbab duduk di hadapan komputer di jadikan hiasan halaman utama brosur-brosur pesantren, untuk menunjukkan “kemoderenan”nya -yang justru mengukuhkan “keterbelakangan”nya-. Seorang ustadz , jika berbicara soal teknologi atau ekonomi, akan dipertanyakan kapan dan di mana ia belajar, seakan-akan teknologi dan ekonomi adalah perkara yang asing baginya. Sebaliknya, seorang dokter atau insinyur berani bicara panjang lebar dan dibiarkan berjam-jam berceramah tentang Islam sementara ia tidak pernah berguru sama sekali dan hanya bermodalkan membaca dan menafsirkan sendiri, tak pernah dipersoalkan. Kenapa ? Karena belajar Ilmu Syar’iy itu mudah sedang Ilmu “umum” (baca: Ghoiru Syar’iy) itu sulit.
Jadi, bukan ada atau tidak ada dikotomisme ilmu soalnya. Tetapi, ketidaksadaran kita telah masuk ke dalam lobang kadal tanah Yahudi dan Nashara, itu soalnya. Ketidaksadaran kita menggunakan kacamata yang salah ketika hendak melihat Islam, itu soalnya. Ketidaksadaran kita memakai istilah secara keliru, itu soalnya.
oleh : al ustadz Abu Khaulah Zainal Abidinsumber: http://rumahbelajaribnuabbas.wordpress.com/2008/08/02/dikotomisme-ilmuadakah-itu/
0 ɹɐʇuǝɯoʞ:
Posting Komentar